
Rating : ★★★
“Begitulah kalau kita sudah cinta dan sayang sama seseorang, logika jadi tumpul. Kalau lo cinta sama seseorang sampai merasa sakit seperti ini, berarti lo beneran sayang sama orang itu.” (hal. 126)
Sebenarnya buku ini tidak sekeji dan sedramatis sinetron di atas. Benar ada bagian Zee diperakukan buruk oleh mamanya dan benar juga terdapat bagian ketika Sam melawan kekejian sang ayah. Tentu itu ada bumbu cerita agar lebih terlihat realistis. Latar belakang kekerasan yang dialami Zee dan Sam pun kuat, walaupun memang terlihat berlebihan dan terasa tidak mungkin. Jadi, aku tidak masalah dengan hal-hal seperti itu dalam buku ini karena mendukung penulis menyampaikan pesan yang dimaksudnya.
Dan memang penulis menyampaikan pesannya dengan baik. Tentang rasa tidak aman—apa pun itu—yang harus segera diberitahukan kepada orang yang kaupercaya. Juga tentang keberanian nan teguh untuk menyampaikan kebenaran kepada pihak berwajib. Aku terkesan bagaimana penulis membuat ceritanya begitu pilu walaupun pada awalannya tidak begitu mulus. Saran membaca buku ini: bertahanlah! Kau akan merasakan ritme cerita membaik setelah beberapa puluh halaman.
Namun, ada yang membuatku kurang sreg. Alur ceritanya yang maju tidak memberikan latar waktu yang apik, malah terlihat berantakan. Semacam satu bagian dilompatkan ke bagian yang lain dan terkadang membuatku mengerutkan kening. Juga ada adegan yang mirip sekali dengan adegan sinetron. Ketika Sam dan Zee dipergoki oleh Jo dan kawan-kawannya. Yah, kau pasti tahu bagaimana kelanjutannya. Sungguh sayang cerita yang membuatku terhubung dinodai dengan adegan picisan semacam itu.
Pernah tidak merasa tertohok dengan perkataan seseorang karena begitu pas dengan dirimu pada saat itu? Itupun yang dirasakan Sam ketika guru olahraganya, Pak Gio, bicara kepadanya yang berujung pada nasihat yang dilontarkannya. Katanya, harus sejak dini menyelami dirimu sendiri karena itulah yang akan membawamu pada langkah selanjutnya. Semacam penentuan. Dan semenjak itu, Sam mencari tahu apa yang diinginkannya. Bagian inilah yang jadi favoritku pada buku ini.
“Harusnya kantor tempat kita bekerja itu seperti playground, jadi kita tak ada beban saat bekerja. Beda kalau kantor seperti penjara, kita bisa tersiksa, dan lelah sendiri.” (hal. 73)